Kamis, 27 Januari 2011

Bumiku Rapuh Dalam Genggaman Pemanasan Global


Planet yang di tempati manusia kini tua dan rapuh. Umur Bumi diperkirakan sekitar 4,5 Milyar tahun, sangat tua bukan?. Makin tua bumi ini , manusia semakin rajin memolesnya. Gedung pencakar langit di mana-mana, hutan dipersempit demi pemukiman dan pertanian, dan barang elektronik berbagai merek merajalela, tanpa pernah memikirkan implikasi dari semua itu.
Bumi kita tak lagi hijau. Dia kini rapuh dengan berjuta luka disekujur tubuhnya bahkan gejala kronik pemanasan global mulai menghantui.
Mungkin selama ini kita menganggap bahwa pemanasan global hanya sebuah isu yang entah kapan terbukti dan menjadikannya bahan obrolan di sela-sela kesibukan saja. Tapi, kini mata kita terbelalakkan dengan sebuah fakta yang cukup mengagetkan dan mengkhawatirkan. Belum lama, sebuah harian ibu kota memberitakan tentang longsornya balok es Antartika yang besarnya kira-kira dua pertiga kota Jakarta (Kompas, 27/3). Padahal selama 1.500 tahun, balok es tersebut aman-aman saja. Ini adalah fakta bahwa bumi dalam masa kritis dan perlu di waspadai, karena perubahan iklim dan pemanasan global bukan sekedar isu dan omong kosong belaka.
Selain fenomena diatas, bumi sudah sering bicara dengan bahasa tubuhnya pada manusia melalui fenomena lain yang melanda dunia bahkan negara yang kita cintai seperti meningkatnya suhu rata-rata bumi yang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca penyebab pemanasan global.
Banyaknya gas-gas rumah kaca seperti uap air, karbondioksida (CO2), metana (CH4), ozon (O3), dinitrogen oksida (N2O), dan chlorofluorocarbon (CFC) yang dihasilkan oleh letusan gunung merapi,bahan bakar fosil, kendaraan bermotor,pemakaian pupuk kimia, cerobong pabrik, pembakaran hutan dan peralatan rumah tangga seperti kulkas, AC, dan obat semprot aerosol di atmosfer menyebabkan radiasi gelombang yang dipancarkan oleh bumi tidak terlepas ke luar angkasa karena diserap dan dipantulkan kembali oleh gas rumah kaca tersebut dan menyebabkan panas terperangkap di troposfer. Akhirnya terjadi peningkatan suhu di lapisan troposfer dan di bumi. Hal tersebut menyebabkan terjadinya efek rumah kaca di bumi.
Berbicara tentang pemanasan global tidak terlepas dari kegiatan manusia dengan gaya hidupnya. Kita perlu menyadari bahwa selama ini kita sudah melakukan tindakan yang salah dengan hidup terlalu boros. Manusia dengan borosnya menggunakan listrik, semakin percaya diri dengan parfum berbagai aroma, tissue dan kertas di gunakan sesuka hati tapi enggan untuk menanam pohon dan malu berjalan kaki.
Pola hidup boros ini sudah global juga, manusia terus menerus menuntut kemudahan-kemudahan hidup. Kemudahan itu didapat dalam bentuk benda-benda maupun jasa, yang pengadaannya memerlukan energi yang besar seperti rumah bagus dengan gemerlap lampu, mobil bagus penghasil emisi , makan enak, tidur nyenyak dengan AC berkawan CFC , bepergian cepat dan nyaman. Manusia telah dimanjakan oleh teknologi sehingga terlena dan lupa akan sengsara yang mengancam yaitu pemanasan global. Maka tepatlah ungkapan yang mengatakan “nikmat membawa sengsara”.
Dampak pemanasan global sudah dirasakan dan akibatnya tidak main-main.Bahkan para ilmuan memprediksikan bahwa 6 persen daerah Belanda dan 17,5 persen daerah Bangladesh dan banyak pulau-pulau di Indonesia akan tenggelam bila suhu bumi dan air laut terus meningkat yang menyebabkan naiknya permukaan air laut pula.
Para ilmuan juga memprediksi bahwa akan banyak orang yang terkena penyakit atau meninggal karena stress panas. Wabah penyakit yang biasa ditemukan di daerah tropis, seperti penyakit yang diakibatkan nyamuk dan hewan pembawa penyakit lainnya, akan semakin meluas dan masih banyak prediksi-prediksi yang lain.
Oleh karena itu, dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Sedunia yang jatuh pada tanggal 7 April 2008 Badan kesehatan dunia (World Health Organization) telah memilih sebuah tema “protecting health climate change” (melindungi kesehatan dari perubahan iklim), sebagai ajang mengingatkan kembali manusia bahwa bumi sudah tak bersahabat lagi sehingga perlu diwaspadai.
Maraknya isu tentang pemanasan global seharusnya membuka mata kita bahwa bumi ini sudah rapuh dan tak lama lagi akan hancur bila kita tak mampu untuk bergerak cepat memberi obat penawar pada luka bumi kita tersayang. Masalah ini bukan hanya masalah orang-orang ahli dan para petinggi saja, namun semua elemen masyarakat punya andil dalam menghadapi masalah ini.
Walau tak ada obat yang mampu menyembuhkan bumi dari deritanya itu, namun sebelum terlambat kita harus bergerak mulai sekarang untuk menyelamatkan bumi dengan kesederhanaan dan menghindari hidup berlebih-lebihan.
Kesederhanaan itu dapat kita wujudkan dengan hemat listrik karena sebagian besar pembangkit listrik mengeluarkan emisi CO2. Mulai dari hal kecil saja seperti mengganti rice cooker dengan masak di tungku, mencuci pakaian tak perlu mesin cuci cukup manual saja. Hemat menggunakan bahan bakar fosil. Kurangi penggunaan kendaraan bermotor Kalau bisa jalan kaki dan naik sepeda tak perlu mobil dan motor.
Hemat menggunakan kertas karena kertas menggunakan bahan baku kayu alam, jadi semakin kita boros kertas maka semakin luas hutan yang harus terbabat yang mungkin saja dapat menggundulkan hutan bila tanpa disertai reboisasi. Kurangi pemakaian CFC dari parfum/pengharum ruangan gantilah dengan menanam bunga untuk menciptakan kesejukan dan kesegaran.
Kesederhanaan sebagai pola hidup kita takkan membawa diri dalam keterbelakangan dan terlempar dari modernisasi tapi justru akan melahirkan sebuah sikap lebih manusiawi dibandingkan hidup sok modern tapi menzalimi diri sendiri karena keterpurukan bumi akan berdampak bagi manusia . Sedikit mengutip ucapan AA Gym bahwa mari kita mulai dari sekarang, mulai dari diri sendiri dan mulai dari hal kecil. Nasib bumi ada di tangan kita.
Cukup sudah derita bumiku sayang. Sayangi alam karena darinya kita hidup.
Di sadur dari : Buku geografi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar